Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat
bahwa Indonesia mencapai rekor terbaru panen padi di Indonesia pada
kuartal satu tahun 2013: mencapai 72,1 juta metrik ton. Foto:
Kompas/Winanrto Heru Sansono
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ – dailyquest.data@gmail.com)
Ini hari Minggu. Tadi, sebelum
sarapan, saya meng-input keyword lapar di google dan tampil 8,190,000
results (0.33 seconds). Kemudian, saya input nasi dan tampil 66,300,000
results (0.26 seconds).
Wow, seru juga bermain-main dengan
google di kala senggang seperti ini. Ketika saya input kelaparan, tampil
3,570,000 results (0.34 seconds). Rupanya content tentang dan terkait
dengan lapar, jauh lebih banyak dibandingkan dengan content yang terkait
dengan kelaparan. Setidaknya, ini salah satu potret keragaman content
di dunia google. Apakah ini bisa kita jadikan cermin tentang lapar dan
kelaparan di dunia nyata? Bagaimana korelasinya dengan lapar dan
kelaparan di Indonesia?
Lapar – About 8,190,000 results (0.33 seconds)
Hungry – About 164,000,000 results (0.47 seconds) Kelaparan – About 3,570,000 results (0.34 seconds) |
Kelaparan Dalam Angka
Barangkali memang tak mudah untuk
mencari korelasinya. Yang saya tahu, Indonesia pada Sabtu 15 Juni 2013
lalu menerima penghargaan yang cukup prestisius dari badan pangan dunia,
Food Agricultural Organization (FAO). Penghargaan itu diberikan di
Roma, Italia. Indonesia, menurut FAO, pantas mendapat penghargaan karena
negeri tropis ini dinilai berhasil mengatasi bahaya kelaparan.
Indonesia berhasil menurunkan tingkat
kelaparan 19,9 persen pada periode 1990-1992 menjadi 8,6 persen pada
2010-2012. Pada 1990, ada 37 juta orang yang kelaparan dan pada 2012
angka kelaparan di Indonesia tercatat 21 juta orang. Di tingkat dunia,
menurut catatan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), masih ada sekitar 870
juta masyarakat yang masih kelaparan.
Dari 192 negara di dunia, negeri ini
menjadi salah satu dari 35 negara yang juga mendapatkan penghargaan
serupa. Tentu ini menjadi sebuah kehormatan dan menjadi salah satu
capaian penting bagi perjalanan bangsa ini. Di negeri tropis yang sinar
matahari dan hujan senantiasa tersedia sepanjang tahun, memang sudah
sepatutnya Indonesia memiliki ketahanan pangan yang kuat.
Modal dasar alam demi menunjang
ketahanan pangan, praktis tersedia melimpah. Gunung dengan hutan yang
lebat, tersebar di mana-mana. Sungai yang luas dan lebar, mengalir dari
hulu ke hilir. Sawah dan ladang terhampar di hampir seluruh pelosok
negeri. Untuk urusan pertanian, nyaris tak ada yang tak disediakan alam
untuk penduduk negeri ini.
Rekor Produksi Padi
Saya kemudian meng-input beras dan
tampil 13,400,000 results (0.37 seconds). Selanjutnya, saya meng-input
nasi dan tampil 66,300,000 results (0.26 seconds). Rupanya, content
tentang dan terkait nasi jauh lebih banyak dibandingkan dengan beras di
dunia google.
Beras – About 13,400,000 results (0.37 seconds)
Pangan – About 15,900,000 results (0.31 seconds) Makanan – About 36,300,000 results (0.56 seconds) Nasi – About 66,300,000 results (0.26 seconds) Rice – About 269,000,000 results (0.27 seconds) Food – About 2,060,000,000 results (0.51 seconds) |
Beras dan nasi, bagaimanapun juga
merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk negeri ini. Sebagaimana
kita tahu, beras berasal dari padi yang dihasilkan petani dari sawah.
Yang bertani dan menghasilkan padi, tentu bukan hanya kita. Sebagian
penduduk di negara-negara tetangga kita juga bertani dan menghasilkan
padi. Dengan hamparan sawah yang luas, seharusnya negeri ini senantiasa
surplus padi dan surplus beras.
Tapi, nyatanya, tidak demikian.
Indonesia terkenal sebagai negara pengimpor beras. Badan Urusan Logistik
atau disingkat Bulog adalah institusi yang mengurus urusan beras ini.
Seharusnya, karena beras adalah makanan pokok rakyat, kebutuhan harian
rakyat, Bulog hendaknya tampil paling depan untuk membela kepentingan
rakyat. Pada kenyataannya, justru sebaliknya, sejumlah pimpinan Bulog
justru menjadikan Bulog sebagai sawah-ladang mereka, sebagai lahan
korupsi mereka. Bukan mengutamakan rakyat.
Ini terbukti dengan tersangkutnya
beberapa kepala Bulog dengan masalah hukum. Antara lain, Rahardi Ramelan
(1998-2001) terjerat dana nonbujeter Rp 54,6 miliar. Beddu Amang
(1993-1998) karena skandal impor pakan ternak senilai Rp 841 miliar pada
tahun 1997. Bustanil Arifin (1988-1993) karena korupsi dan mark up dana
Bulog senilai Rp 10 miliar. Widjanarko Puspoyo (2003-2007) karena
korupsi dalam ekspor beras Bulog ke Afrika Selatan dan penerimaan hadiah
dari rekanan Bulog.
Perilaku sejumlah petinggi Bulog itu
tentu saja sangat merugikan rakyat dan bukan tak mungkin akan menambah
jumlah penduduk yang kelaparan. Namun, syukurlah, ada kabar gembira
tentang peningkatan produksi padi, sebagaimana diberitakan tempo.co, Rabu, 01 Mei 2013 | 14:43 WIB, Indonesia Catat Rekor Produksi Padi:
Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat
bahwa Indonesia mencapai rekor terbaru panen padi di Indonesia pada
kuartal satu tahun 2013. Volume panen padi saat ini mencapai 72,1 juta
metrik ton atau meningkat 4,4 persen dibandingkan tahun lalu, yang
sebanyak 69,05 juta metrik ton.
Impor padi pada musim 20013-2014
turun menjadi 9,4 juta ton dari sebelumnya 9,8 juta ton. Harga untuk
beras berkualitas menengah domestik mengalami kenaikan, lalu kembali
turun pada bulan berikutnya.
Ledakan Mulut Menganga
Penghargaan FAO dan rekor produksi padi,
agaknya tak mudah untuk dipertahankan. Apalagi dengan tingkat
pertumbuhan pejabat yang korupsi di berbagai lini. Bukan hanya jumlah
pejabat korupsi yang meningkat, nominal yang mereka korupsi juga
cenderung naik. Bahkan, para penegak hukum yang seharusnya menegakkan
hukum, justru menjadi biang dari sejumlah tindak korupsi. Boleh jadi,
sejumlah pejabat yang korupsi, terhindar dari kelaparan. Sebaliknya,
jumlah rakyat yang kelaparan akan terus bertambah sebagai akibat
langsung dan tak langsung dari tindak korupsi para pejabat tersebut.
Faktor lain yang juga akan menambah
jumlah penduduk yang kelaparan adalah pertumbuhan penduduk itu sendiri.
Ketersediaan pangan dengan jumlah mulut yang menganga minta makan
menjadi tidak seimbang. Ditambah lagi dengan harga pangan yang terus
membubung, sementara daya beli masyarakat tak cukup untuk menjangkaunya.
Rentetan faktor yang relevan dengan naik-turunnya jumlah penduduk yang
kelaparan ini, bisa terus bertambah seiring dengan rendahnya perhatian
penyelenggara negara terhadap masalah kependudukan.
Siti Zuhro, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam seminar Kependudukan vs Politik,
di Jakarta, Kamis, 01 Agustus 2013, menilai, isu kependudukan kurang
sexy dan tidak menjual secara politik. Sosiolog dari Universitas
Indonesia, Imam Prasodjo, menilai politisi Indonesia cenderung gemar
menggeluti isu jangka pendek yang lebih cepat kelihatan hasilnya
sehingga menguntungkan secara politik bagi dirinya. Penilaian Siti Zuhro
dan Imam Prasodjo tersebut, setidaknya menjadi indikasi betapa masalah
kependudukan tidak mendapat perhatian yang cukup dari penyelenggara
negara ini.
Sebagai penutup catatan ini, saya kutipkan content dari poskota.co.id, Rabu, 16 November 2011, 19:11 WIB, Tahun 2045 Penduduk Indonesia 450 Juta:
Ledakan penduduk Indonesia yang kini
mencapai 242 juta jiwa merupakan tanggung jawab semua pihak, baik
pemerintah, masyarakat, dan swasta. Jika laju pertambahan penduduk yang
rata-rata 3,5 juta-4 juta per tahun tidak segera ditekan, diprediksi
pada 2045 jumlah penduduk Indonesia mencapai 450 juta jiwa. Dengan
asumsi populasi bumi 9 miliar jiwa pada saat itu, berarti 1 dari 20
penduduk dunia adalah orang Indonesia. Apa yang terjadi dengan Indonesia
pada 2045, ketika 1 dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia? Jawabnya: Indonesia akan menjadi negeri kelaparan.
sumber referensi : http://contentmediaresearch.com/kelaparan-dan-ledakan-penduduk/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar