Rabu, 15 Januari 2014

Kelaparan dan Ledakan Penduduk


13768080061473705445
Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat bahwa Indonesia mencapai rekor terbaru panen padi di Indonesia pada kuartal satu tahun 2013: mencapai 72,1 juta metrik ton. Foto: Kompas/Winanrto Heru Sansono
Ini hari Minggu. Tadi, sebelum sarapan, saya meng-input keyword lapar di google dan tampil 8,190,000 results (0.33 seconds). Kemudian, saya input nasi dan tampil 66,300,000 results (0.26 seconds).
Wow, seru juga bermain-main dengan google di kala senggang seperti ini. Ketika saya input kelaparan, tampil 3,570,000 results (0.34 seconds). Rupanya content tentang dan terkait dengan lapar, jauh lebih banyak dibandingkan dengan content yang terkait dengan kelaparan. Setidaknya, ini salah satu potret keragaman content di dunia google. Apakah ini bisa kita jadikan cermin tentang lapar dan kelaparan di dunia nyata? Bagaimana korelasinya dengan lapar dan kelaparan di Indonesia?
Lapar – About 8,190,000 results (0.33 seconds) Hungry – About 164,000,000 results (0.47 seconds)
Kelaparan – About 3,570,000 results (0.34 seconds)
Kelaparan Dalam Angka
Barangkali memang tak mudah untuk mencari korelasinya. Yang saya tahu, Indonesia pada Sabtu 15 Juni 2013 lalu menerima penghargaan yang cukup prestisius dari badan pangan dunia, Food Agricultural Organization (FAO). Penghargaan itu diberikan di Roma, Italia. Indonesia, menurut FAO, pantas mendapat penghargaan karena negeri tropis ini dinilai berhasil mengatasi bahaya kelaparan.
Indonesia berhasil menurunkan tingkat kelaparan 19,9 persen pada periode 1990-1992 menjadi 8,6 persen pada 2010-2012. Pada 1990, ada 37 juta orang yang kelaparan dan pada 2012 angka kelaparan di Indonesia tercatat 21 juta orang. Di tingkat dunia, menurut catatan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), masih ada sekitar 870 juta masyarakat yang masih kelaparan.
Dari 192 negara di dunia, negeri ini menjadi salah satu dari 35 negara yang juga mendapatkan penghargaan serupa. Tentu ini menjadi sebuah kehormatan dan menjadi salah satu capaian penting bagi perjalanan bangsa ini. Di negeri tropis yang sinar matahari dan hujan senantiasa tersedia sepanjang tahun, memang sudah sepatutnya Indonesia memiliki ketahanan pangan yang kuat.
Modal dasar alam demi menunjang ketahanan pangan, praktis tersedia melimpah. Gunung dengan hutan yang lebat, tersebar di mana-mana. Sungai yang luas dan lebar, mengalir dari hulu ke hilir. Sawah dan ladang terhampar di hampir seluruh pelosok negeri. Untuk urusan pertanian, nyaris tak ada yang tak disediakan alam untuk penduduk negeri ini.
Rekor Produksi Padi
Saya kemudian meng-input beras dan tampil 13,400,000 results (0.37 seconds). Selanjutnya, saya meng-input nasi dan tampil 66,300,000 results (0.26 seconds). Rupanya, content tentang dan terkait nasi jauh lebih banyak dibandingkan dengan beras di dunia google.
Beras – About 13,400,000 results (0.37 seconds) Pangan – About 15,900,000 results (0.31 seconds)
Makanan – About 36,300,000 results (0.56 seconds)
Nasi – About 66,300,000 results (0.26 seconds)
Rice – About 269,000,000 results (0.27 seconds)
Food – About 2,060,000,000 results (0.51 seconds)
Beras dan nasi, bagaimanapun juga merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk negeri ini. Sebagaimana kita tahu, beras berasal dari padi yang dihasilkan petani dari sawah. Yang bertani dan menghasilkan padi, tentu bukan hanya kita. Sebagian penduduk di negara-negara tetangga kita juga bertani dan menghasilkan padi. Dengan hamparan sawah yang luas, seharusnya negeri ini senantiasa surplus padi dan surplus beras.
Tapi, nyatanya, tidak demikian. Indonesia terkenal sebagai negara pengimpor beras. Badan Urusan Logistik atau disingkat Bulog adalah institusi yang mengurus urusan beras ini. Seharusnya, karena beras adalah makanan pokok rakyat, kebutuhan harian rakyat, Bulog hendaknya tampil paling depan untuk membela kepentingan rakyat. Pada kenyataannya, justru sebaliknya, sejumlah pimpinan Bulog justru menjadikan Bulog sebagai sawah-ladang mereka, sebagai lahan korupsi mereka. Bukan mengutamakan rakyat.
Ini terbukti dengan tersangkutnya beberapa kepala Bulog dengan masalah hukum. Antara lain, Rahardi Ramelan (1998-2001) terjerat dana nonbujeter Rp 54,6 miliar. Beddu Amang (1993-1998) karena skandal impor pakan ternak senilai Rp 841 miliar pada tahun 1997. Bustanil Arifin (1988-1993) karena korupsi dan mark up dana Bulog senilai Rp 10 miliar. Widjanarko Puspoyo (2003-2007) karena korupsi dalam ekspor beras Bulog ke Afrika Selatan dan penerimaan hadiah dari rekanan Bulog.
Perilaku sejumlah petinggi Bulog itu tentu saja sangat merugikan rakyat dan bukan tak mungkin akan menambah jumlah penduduk yang kelaparan. Namun, syukurlah, ada kabar gembira tentang peningkatan produksi padi, sebagaimana diberitakan tempo.co, Rabu, 01 Mei 2013 | 14:43 WIB, Indonesia Catat Rekor Produksi Padi:
Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat bahwa Indonesia mencapai rekor terbaru panen padi di Indonesia pada kuartal satu tahun 2013. Volume panen padi saat ini mencapai 72,1 juta metrik ton atau meningkat 4,4 persen dibandingkan tahun lalu, yang sebanyak 69,05 juta metrik ton.
Impor padi pada musim 20013-2014 turun menjadi 9,4 juta ton dari sebelumnya 9,8 juta ton. Harga untuk beras berkualitas menengah domestik mengalami kenaikan, lalu kembali turun pada bulan berikutnya.
Ledakan Mulut Menganga
Penghargaan FAO dan rekor produksi padi, agaknya tak mudah untuk dipertahankan. Apalagi dengan tingkat pertumbuhan pejabat yang korupsi di berbagai lini. Bukan hanya jumlah pejabat korupsi yang meningkat, nominal yang mereka korupsi juga cenderung naik. Bahkan, para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum, justru menjadi biang dari sejumlah tindak korupsi. Boleh jadi, sejumlah pejabat yang korupsi, terhindar dari kelaparan. Sebaliknya, jumlah rakyat yang kelaparan akan terus bertambah sebagai akibat langsung dan tak langsung dari tindak korupsi para pejabat tersebut.
Faktor lain yang juga akan menambah jumlah penduduk yang kelaparan adalah pertumbuhan penduduk itu sendiri. Ketersediaan pangan dengan jumlah mulut yang menganga minta makan menjadi tidak seimbang. Ditambah lagi dengan harga pangan yang terus membubung, sementara daya beli masyarakat tak cukup untuk menjangkaunya. Rentetan faktor yang relevan dengan naik-turunnya jumlah penduduk yang kelaparan ini, bisa terus bertambah seiring dengan rendahnya perhatian penyelenggara negara terhadap masalah kependudukan.
Siti Zuhro, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam seminar Kependudukan vs Politik, di Jakarta, Kamis, 01 Agustus 2013, menilai, isu kependudukan kurang sexy dan tidak menjual secara politik. Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, menilai politisi Indonesia cenderung gemar menggeluti isu jangka pendek yang lebih cepat kelihatan hasilnya sehingga menguntungkan secara politik bagi dirinya. Penilaian Siti Zuhro dan Imam Prasodjo tersebut, setidaknya menjadi indikasi betapa masalah kependudukan tidak mendapat perhatian yang cukup dari penyelenggara negara ini.
Sebagai penutup catatan ini, saya kutipkan content dari poskota.co.id, Rabu, 16 November 2011, 19:11 WIB, Tahun 2045 Penduduk Indonesia 450 Juta:
Ledakan penduduk Indonesia yang kini mencapai 242 juta jiwa merupakan tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan swasta. Jika laju pertambahan penduduk yang rata-rata 3,5 juta-4 juta per tahun tidak segera ditekan, diprediksi pada 2045 jumlah penduduk Indonesia mencapai 450 juta jiwa. Dengan asumsi populasi bumi 9 miliar jiwa pada saat itu, berarti 1 dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia. Apa yang terjadi dengan Indonesia pada 2045, ketika 1 dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia? Jawabnya: Indonesia akan menjadi negeri kelaparan.

sumber referensi : http://contentmediaresearch.com/kelaparan-dan-ledakan-penduduk/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar